Rabu, 18 Agustus 2010

Dualisme Kesetiaan Politik dan Hukum

KOMPAS,senin 28 Desember 2009

Penghujung tahun ini merupakan ujian terberat bagi pemerintah Indonesia, yang menyebabkan persepsi masyarakat berubah. dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya,setelah terbentuknya pemerintahan pada tahun 2004 ,pemerintahan hasil pemilu 2009 menghadapi kondisi politik dan hukum yang tidak ringan, bahkan dapat menjurus kepada ketidakstabilan pemerintahan.
kalau pada dua bulan pertama pemerintahan 2004 kondisi politik di pandang baik oleh 43.5 % responden , kini persepsi positif hanya dilontarkan oleh 27.6 % responden. hal yang sama terjadi pada bidang hukum, persepsi positif menurun dari 52 % tinggal separuhnya, 24.6 %. apa yang ada dibalik penurunan itu merupakan problem besar yang kini dihadapi oleh Indonesia ,khususnya dalam upaya demokratisasi. manakala stabilitas politik berhadapan dengan Hukum,mana yang di pilih???...
titik singgung antara Politik dan Hukum kebetulan muncul dari kasus bank century. kasus bank century menjadi batu ujian tidak saja bagi pemerintah yang berkuasa, tetapi lebih-lebih bagi perjalanan demokrasi itu sendiri. meskipun nyaris semua responden (96.7%) menyatakan sikap setuju agar kasus ini di ungkap tuntas, tiga konstruksi pertanyaan. setidaknya akan muncul kasus dari penanganan kasus ini. apakah pengucuran dana talangan sebesar 6.7 triliun ke bank century merupakan konspirasi korupsi? jika iya,apakah pemegang otoritas tertinggi (Presiden) terlibat dalam kasus ini? jika terlibat,apakah presiden akan di Makzulkan?
pesta demokrasi baru saja usai digelar pertengahan tahun ini sehingga sulit dibayangkan bahwa mandat yang diberikan lewat pemilu langsung dalam satu kali putaran menjadi tidak bermakna apa-apa manakala presiden dimakzulkan. tampaknya ini yang membuat sebagian besar (82.3%) rsponden jajak pendapat ini berpandangan bahwa tidak perlu diadakan pergantian kekuasaan pemerintahan. bahkan dalam kasus usulan penonaktifan Sri Mulyani dan wakil presiden Boediono oleh DPR, publik (56.4% responden) lebih memilih berpihak kepada pernyataan presiden yang mengisyaratkan penolakan karena alasan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. padahal sejauh ini ,proses demokratisasi yang dilakukan dengan restrukturisasi kekuasaan lembaga negara berjalan seiring dengan dorongan moral untuk pemberantasan korupsi. pembentukan peraturan perundang-undangan serta lembaga-lembaga baru seperti ,Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial, pun berdampak pada cara pandang baru dalam melihat soal korupsi.
apa yang tadinnya menjadi kebiasaan , kultur berpolitik yang santun antar sesama elite, tiba-tiba dipandang sebagai kultur kopursi yang harus diberantas. pejabat-pejabat daerah dan anggota-anggota legislatif pun banyak terjungkal. perilaku korup yang terjadi dalam periode pemerintahan sebelumnya juga tidak bisa lolos dengan mudah. kultur politik elite,baik lokal maupun nasional yang terbiasa dengan "soouvenir" atau "ucapan terima kasih",atau "balas budi" tiba-tiba berubah maknanya menjadi "korupsi berjamaah" apabila melibatkan anggota DPRD dalam jumlah banyak. dalam kacamata yang makin terang benderang sekarang,korupsi adalah korupsi. lebih simpel dan hitan putih. penyalahan kekuasaan berupa uang ialah korupsi.

to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar